Usaha - Usaha Penanggulangan Kepunahan Orang Utan
USAHA-USAHA UNTUK MENANGGULANGI KEPUNAHAN ORANGUTAN
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Biokonservasi
Yang Diampu oleh Prof. Ir. Suhadi, M. Si.
Oleh:
1.
Alfiani Rahmawati 110342422037
2.
Ima Aprillia Hariyanti 110342406478
3.
Siti Lutvaniyah 110342406474
The Learning University
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
September 2014
USAHA – USAHA UNTUK MENANGGULANGI KEPUNAHAN
ORANGUTAN
Indonesia merupakan negara mega-biodiversity, namun fakta ini tidak
diiringi dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang tepat sehingga indonesia
menempati urutan atas dalam konservasi beberapa organisme, salah satunya urutan
kedua setelah Brazil untuk keanekaragaman mamalia, dengan 515 jenis, yang 39 %
diantaranya merupakan endemik (Supriatna, 2008) termasuk konservasi Orangutan. Orangutan
merupakan salah satu mammalia endemik yang terus mengalami penurunan populasi
setiap tahun. Orangutan sumatera dan Orangutan kalimantan adalah dua jenis
satwa primata yang menjadi bagian penting dari kekayaan keanekaragaman hayati
kita, dan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga
kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan bonobo hidup di benua Afrika (Soehartono
et al., 2007).
Kepunahan Orangutan tidak lepas dari campur
tangan manusia melalui berbagai aktivitas yang mengganggu maupun mengurangi
kualitas dan kuantitas habitat Orangutan. Beberapa kegiatan manusia yang
mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup Orangutan Sumatera dan Kalimantan
adalah penebangan hutan untuk perluasan perkebunan, pembuatan jalan dalam
hutan, penambangan, illegal logging,
dan lainnya. Kehilangan hutan di lahan gambut dan non-gambut selalu
disertai dengan kehilangan besar pada keanekaragaman hayati di daerah itu. akan
sangat mungkin mengalami kepunahan lokal pada 2015/2016 (Wich et al., 2011). Kepunahan Orangutan
setidaknya dapat diperlambat atau bahkan ditanggulangi. Penanggulangan
kepunahan Orangutan ini dapat dilakukan melalui beberapa usaha seperti berikut:
1.
Menyelamatkan
Habitat Orangutan
Untuk
menyelamatkan orangutan yang paling utama adalah menyelamatkan habitatnya,
yakni hutan. Hutan-hutan yang masih dihuni orangutan harus dipertahankan untuk
orangutan. Hutan-hutan yang sudah rusak harus direstorasi agar cocok dengan
kondisi habitat yang dibutuhkan orangutan. Indonesia selayaknya menyediakan
hutan untuk orangutan. Sebenarnya kita hanya membutuhkan sekitar 4 juta ha
hutan untuk 40.000 orangutan. Apabila kita mampu mempertahankan hutan yang
masih baik dan merestorasi hutan yang
sudah rusak, maka 4 juta buat Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan,
bukanlah luasan yang terlalu sulit untuk dipenuhi. Selain orangutan yang
sebagian besar hidup di atas pohon terselamatkan, fauna dan flora yang ada di
hutan tersebut juga ikut terselamatkan (Redaksi Agrina, 2006).
2.
Konservasi Orangutan
Konservasi Orangutan perlu dilakukan sebagai
penanggulangan kepunahan satwa tersebut. Konservasi dapat dilakukan secara in-situ di habitat asli Orangutan maupun
secara ex-situ diluar habitat aslinya. Konservasi Orangutan dapat dilakukan
melalui: penyelamatan, rehabilitasi, dan re-introduksi
Orangutan; konservasi habitat Orangutan termasuk pengelolaan kawasan habitat
Orangutan liar; serta pengelolaan kawasan suaka Orangutan, kawasan translokasi,
dan kawasan pelepasliaran (BOS, 2013). Pelaksanaan konservasi Orangutan tidak
akan terlepas dari konservasi habitat aslinya, menyelamatkan habitat Orangutan
memerlukan terobosan strategi agar mampu diterima dan dimiliki oleh stakeholder lokal termasuk masyarakat
didalamnya (Makinuddin et al., 2013)
mengingat habitat Orangutan di Indonesia tidak terlepas dari kawasan perkebunan
sawit. Berikut merupakan analisis dari konservasi eksitu dan insitu orang utan:
a. Konservasi Eksitu
Konservasi eksitu dilakukan di luar habitat
asli orang utan, contohnya kebun binatang dan taman safari. Kebun binatang dan
taman safari di Indonesia diharapkan bisa lebih berperan dalam konservasi
orangutan, dengan lebih meningkatkan program pendidikan dan penyadartahuan
masyarakat dan tidak berorientasi bisnis semata. Selain itu, praktik pemeliharaan
(husbandry) di seluruh kebun binatang yang ada di Indonesia perlu ditingkatkan
dan dievaluasi secara teratur oleh PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh
Indonesia) dengan melibatkan para ahli untuk menjamin kualitas pelaporan dan
transparansi. Laporan dari International Studbook of Orangutan in World Zoos
(2002) mencatat 379 orangutan borneo, 298 orangutan sumatera, 174 orangutan
hibrid, dan 18 orangutan yang tidak diketahui atau tidak jelas asal-usulnya
dipelihara di berbagai kebun binatang seluruh dunia. Perlu dicatat bahwa jumlah
itu hanya berasal dari kebun binatang yang memenuhi permintaan data dari
pemegang studbook yang ditunjuk, sehingga ada sejumlah orangutan lainnya tidak
tercatat dan diketahui pasti jumlahnya. Selain membuat kebijakan yang mengatur
pengelolaan populasi orangutan di kebun binatang dan taman safari, pemerintah
juga sebaiknya mengembangkan sistem pendataan nasional yang diperlukan untuk
memantau keberadaan populasi orangutan di berbagai kebun binatang dan taman
safari di Indonesia (Panggabean,
2011).
b. Konservasi Insitu
Konservasi insitu merupakan kegiatan
pelestarian orangutan di habitat aslinya. Strategi bertujuan agar semua
pemangku kepentingan bekerjasama memantau pengelolaan konservasi orangutan dan
habitatnya. Pemantapan kawasan, pengembangan koridor, realokasi kawasan
budidaya non kehutanan (KBNK) menjadi areal konservasi merupakan beberapa
aktivitas yang bisa dilakukan untuk penyelamatan orangutan di habitatnya.
Perlindungan habitat menjadi dasar utama bagi pengelolaan konservasi insitu
orangutan. Salah satu penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan
tata ruang yang kurang baik. Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan
hutan yang ada saat ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk
penggunaan lain. Ini akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan
yang populasinya sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam
punah (orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada
tingkat tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku
kepentingan dalam penyusunan tata ruang di tingkat kabupaten dan propinsi
seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan (Panggabean, 2011).
Habitat orangutan djumpai di kawasan
konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga di kawasan budidaya non
kehutanan. Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan liar dijumpai di
luar kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola
oleh HPH/HTI dan atau hutan lindung. Orangutan akan bisa bertahan hidup di
areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu banyak yang
dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat orangutan juga
banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dimana kawasan
ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan lain, seperti
perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha juga harus
dilibatkan dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga dampak akibat
pembangunan baik di sector kehutanan maupun di luar kehutanan terhadap orangutan
dapat diminimalisir (Panggabean,
2011).
3.
Meningkatkan
Penegakan Hukum tentang Perlindungan Orangutan
Perlindungan Orangutan di
Indonesia telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (Soehartono et al., 2007). Akan tetapi pelaksanaan dasar hukum tersebut masih
kurang, sehingga masih banyak pelanggaran yang terjadi. Hukum yang berlaku di
Indonesia tidak bisa menindak secara tegas terhadap kegiatan penangkapan,
pembunuhan dan perdagangan illegal terhadap Orangutan, baik karena masyarakat
tidak mau tahu tentang Undang-Undang atau Peraturan yang melekat pada satwa
tersebut, atau karena masyarakat sama sekali tidak tahu tentang Undang-Undang
atau Peraturan itu (Irfan et al., tanpa tahun). Rendahnya komitmen dalam
implementasi dan penegakaan hukum terhadap pelanggaran di lapangan membuat
kerusakan lingkungan tidak terkendali (Makinuddin et al., 2013) sehingga mengganggu kehidupan organisme (Orangutan)
di dalamnya. Tingginya tingkat kerusakan alam yang terjadi tidak terlepas dari
aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga penegakan hukum
yang tegas dan adil baik terhadap pembalakan hutan secara ilegal, maupun
pelanggaran perburuan dan perdagangan satwa yang dilindungi (Onrizal, 2009).
4.
Perluasan
Kemitraan dan Kerjasama dalam Pelaksanaan Konservasi Orangutan
Konservasi
Orangutan dalam praktiknya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, sehingga
keberadaan mitra dan kerjasama akan sangat menguntungkan bagi tercapainya
konservasi Orangutan sebaik mungkin. Kemitraan dan kerjasama dalam konservasi
Orangutan harus dilakukan dengan memperhatikan strategi guna meningkatkan dan
memperluas kemitraan antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan Orangutan Indonesia. Serta
menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak pelaksanan
konservasi Orangutan di Indonesia (Soehartono et al., 2007).
5.
Translokasi
Orangutan
Pada kondisi dimana aktivitas ekonomi
menyebabkan terjadinya pengrusakan habitat dan orangutan tidak bisa pindah atau
menyelamatkan diri dari proses pembangunan tersebut maka translokasi menjadi
pilihan terakhir. Pilihan ini akan diambil bila pilihan lain untuk
mempertahankan orangutan di habitatnya sudah tidak bisa dilakukan lagi. Untuk
menghindari ini terjadi, akan lebih efisien jika survei tentang satwa langka,
jarang dan dilindungi dilakukan dengan baik sebelum melakukan pembangunan
sehingga aktivitas translokasi tidak perlu dilakukan (Panggabean, 2011).
Translokasi merupakan proses
pemindahan orangutan liar sehat dari habitatnya yang rusak ke habitatnya yang
baru, yang lebih aman dan lebih baik. Habitat baru ini diharapkan akan dapat
mendukung hidupnya dalam jangka panjang. Translokasi memerlukan biaya tinggi
dan untuk itu dibutuhkan adanya aturan yang menjelaskan persoalan biaya terkait
translokasi. Banyaknya konversi habitat (hutan) untuk peruntukan lain menjadi
penyebab banyaknya orangutan yang ditangkap oleh masyarakat. Pada banyak kasus,
satwa-satwa ini dapat disebut sebagai “pengungsi”, karena habitat mereka memang
sudah tidak ada lagi. Selain akibat konversi lahan, kebakaran hutan juga
menjadi penyebab penting adanya orangutan “pengungsi”. Orangutan “pengungsi”
harus diselamatkan (rescued) ke pusat rehabilitasi serta secepatnya di
translokasi ke habitat yang masih baik. Namun hal ini bukan merupakan
penyelesaian masalah jangka panjang pada konservasi orangutan. Kedepannya,
perlindungan habitat harus menjadi prioritas dalam konservasi orangutan
(Panggabean, 2011).
6.
Rehabilitasi
Orangutan
Orang utan
yang dipelihara oleh perorangan akan disita oleh Negara, kemudian akan
dikembalikan ke habitatnya semula. Sebelum dikembalikan ke habitatnya, orang
utan terlebih dahulu di rehabilitasi. Tujuan dari rehabilitasi tersebut adalah
agar orang utan dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan hutan sebagai habitat
aslinya. Pusat rehabilitasi orang utan terdapat di Samboja dan Tanjung putting
yang berada di wilayah Kalimantan. Selain di Kalimantan, terdapat pula
rehabilitasi orang utan di Sumatra, yaitu di Bukit Lawang (Syiam, 2009).
7.
Menjadi
Anggota (member) WWF-Indonesia
WWF Indonesia
juga bertindak untuk menyelamatkan kepunahan orang utan. WWF Indonesia mengajak
kita semua untuk menjadi member. Jika kita menjadi member, kita akan dikenakan
biaya selama setahun, dimana dana itu untuk membiayai penangkarang orang utan.
Selama ini WWF Indonesia telah melakukan banyak sikap untuk mencegah kepunahan
orang utan. Kita akan diberi sebuah kartu untuk tanda pengenal. Kita juga dapat
bisa melakukan pencegahan langsung ke hutan – hutan bersama WWF Indonesia itu
(Syiam, 2009).
8.
Mengembangkan
dan mendorong terciptanya kawasan konservasi daerah berdasarkan karakteristik
ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, status hukum, dan kearifan masyarakat
Salah satu undang-undang yang sangat
penting dalam perlindungan spesies, termasuk orangutan adalah Undang-undang No.
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
termasuk turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Selain itu, undang-udang lain yang
juga sangat penting terkait dengan perlindungan habitat orangutan adalah UU No
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Habitat orangutan berada di kawasan
konservasi, kawasan hutan produksi dan kawasan budidaya non kehutanan. Perlu
ada dorongan kebijakan di semua level untuk mendukung pelestarian orangutan di
habitat alami. Dorongan kebijakan yang sudah mengadopsi kekhasan daerah antara
lain adalah mewujudkan adanya kawasan konservasi daerah pada kawasan KBNK. Pola
ini diharapkan sudah memenuhi unsur kekhasan, kearifan lokal, faktor ekologi
dalam penataan ruang mikro dan peran serta dukungan pemerintah daerah atau
masyarakat. Kebijakan ini juga menjadi bukti peran dan dukungan pemerintah
daerah dalam konservasi orangutan. Kawasan konservasi juga perlu kepastian
hukum, untuk itu perlu ada penguatan secara legal. Kepastian ini akan
mempermudah implementasi pengelolaan habitat dan spesies sesuai dengan rencana
aksi, khususnya penegakan aturan konservasi (Panggabean, 2011).
9.
Kepastian
Hukum Bagi Pembunuh Orangutan
Hukuman bagi
pembunuh orangutan di Indonesia masih dirasa ringan. Contohnya saja Keputusan
Pengadilan Negeri diadili Tenggarong Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Tgr, memberi
hukuman pada dua oknum pembunuh, keduanya dijatuhi hukuman penjara
masing-masing selama 8 (delapan) bulan , dan denda sebesar Rp. 30.000.000,00
(tiga puluh juta) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka
diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Dengan bukti tulang
sebanyak 85 tulang ditemukan di TKP Blok G36 Devisi Selatan, 1 (satu) potongan
Skull and Bones, 1 (satu) senapan angin merek Tajam Clasic kaliber 4,5 mm,
dihukum karena membunuh 2 (ekor) dewasa orangutan dan 1 (satu) ekor anak
orangutan. Bahwa putusan hakim hukuman ringan dan tidak sesuai dengan amanat
undang-undang dan dikatakan belum efektif. Seharusnya, hakim memberikan hukuman
yang lebih berat serta berkampanye untuk mempromosikan perlindungan dan
penyelamatan hewan
orangutan (Irfan et al., 2013).
Dalam hal
membantu berjalannya proses penegakan hukum terhadap pembunuhan orang utan di
Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara, Center For Orangutan Protection atau COP, merupakan salah satu
organisasi yang bertujuan sebagai sosial control dari problema yang terjadi
antara manuisa dengan lingkungannya. Bahwa COP akan terus melakukan dialog
dengan pihak pemerintah juga presiden, dan membawa kasus ini sampai ranah hukum
untuk menindak lanjuti upaya perlindungan orang utan. Namun usaha tersebut
menemukan kendala yakni pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang terletak di
Kota Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara. Kendala tersebut meliputi lemahnya
penanganan yang dilakukan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dikarenakan
personil kurang, fasilitas yang kurang memadai, yang secara langsung
mempengaruhi proses tata cara dalam pelaksanaan upaya perlindungan hutan dan
satwa yang dilindungi. Hal tersebutlah yang menjadi faktor penyebab terjadinya
pembunuhan orang utan di Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara
(Irfan et al., 2013).
Pembunuhan
orangutan di daerah Kabupaten Kutai Kertanegara ini dikarenakan adanya Tim
Pembasmi orangutan yang dibentuk oleh sebuah perusahaan. Orangutan dianggap
suatu hama yang harus dibasmi. Tim Pembasmi tersebut memberikan upah pada
penduduk sekitar yang berhasil menangkap/ membunuh orangutan per kepala seharga
Rp 500.000 – Rp 1.000.000. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 48 / Menhut-IV
/ 2008 tentang Pedoman Penanganan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar
menyatakan dengan tegas bahwa bilamana terjadi konflik antara manusia dengan
satwa liar ditangani oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara Manusia
dan Satwa Liar yang diketuai oleh BKSDA yang ditetapkan oleh Gubernur, bukan
Tim Pembasmi yang dibentuk oleh Pihak Perusahaan jelas menyalahi aturan (Irfan et al., 2013).
10.
Kampanye
Sosial “Helping Hand for Orangutan”
Kampanye
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu gerakan (tindakan) serentak
(untuk melawan, mengadakan aksi). Sedangkan sosial adalah semua hal yang
berkenaan dengan masyarakat. Jadi Kampanye sosial, merupakan suatu gerakan yang
dilakukan untuk mengubah perilaku sesuatu yang berkenaan dengan kelompok
masyarakat agar menuju ke arah tertentu sesuai dengan gerakan yang di
laksanakan oleh pembuat kampanye. Televisi sebagai media hiburan yang paling
digemari oleh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia, merupakan salah satu media
yang efektif untuk beriklan. Sebuah iklan televisi adalah bentuk komunikasi
yang dimaksudkan untuk membujuk audiens (pemirsa, pembaca atau pendengar) untuk
melakukan beberapa tindakan. Hotman Siahaan mengatakan bahwa iklan mempunyai
dampak yang besar terhadap pola pemikiran dan pola konsumsi masyarakat.
Kampanye sosial yang disiarkan melalui televisi berbentuk sebuah tayangan iklan
yang mengilustrasikan kehidupan orangutan di alam liar sehingga masyarakat bisa
sadar dan termotivasi untuk menyelamatkan orangutan (Elizabeth, 2012).
Kampanye “ Helping Hand for Orangutan “ merupakan
salah satu solusi untuk melindungi orangutan dari kepunahan. Kampanye ini
bertujuan untuk mengajak masyarakat agar mau peduli , bersama-sama
menyelamatkan orangutan dari kepunahan dan perlakuan yang tidak layak di
Indonesia, memberikan donasi sebagai bentuk apresisasi dan kecintaan terhadap
orangutan melalui sebuah iklan televisi. Iklan yang bertajuk “Helping Hand for
Orangutan” ini menceritakan tentang keadaan Orangutan di Indonesia yang sangat
memprihatinkan. Terbukti dengan banyaknya kasus pembantaian Orangutan yang
telah terjadi karena mereka dianggap sebagai hama. Tidak cukup sampai disitu,
habitat asli mereka pun dirampas dan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Jalan
cerita dari iklan televisi ini mengambil sudut pandang dari sisi Orangutan
sebagai makhluk yang teraniaya dan tak terlin- ndungi. Agar audiences yang
melihat menjadi sadar bahwa perlakuan terhadap Orangutan sangatlah kejam dan
tidak berperasaan (Elizabeth, 2012).
Kampanye “ Helping Hand for Orangutan “ adalah
satu-satunya kampanye yang secara langsung mengajak masyarakat untuk ikut aktif
mencegah orangutan dari kepunahan. Target audience adalah laki-laki maupun
perempuan, usia 25-30 tahun, pendidikan minimal SMA, tingkat perekonomian
menengah ke atas, bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, tinggal di
perkotaan besar, memilikii kepedulian yang tinggi kepada orangutan, serta sadar
akan pentingnya keberadaan satwa liar bagi kehidupan. Diharapkan dengan adanya
kampanye ini dapat mencegah kepunahan Orangutan yang tentunya tidak kita
harapkan (Elizabeth, 2012).
11.
Proyek
Kerjasama Penelitian Orangutan
GFTN Indonesia
dan program spesies WWF-Indonesia bekerjasama dengan PT SJM (Suka Jaya Makmur)
di Kalimantan mengembangkan rencana manajemen perusahaan untuk menjamin
terciptanya harmoni dunia usaha dan orang utan. Pada Januari 2010, GFTN
Indonesia dan tim ahli yang terdiri dari ahli tumbuhan, ahli orang utan, dan
staf GIS WWF-Indonesia mengadakan penelitian selama dua minggu di beberapa
sarang orang utan di dalam area konsesi PT SJM. Penelitian lapangan yang
didukung oleh aktivitas dokumentasi tersebut akan menghasilkan film dokumenter
serta rencana manajemen orangutan sebagai bagian program perlindungan HCVF (High Conservation Value Forest), salah
satu upaya PT SJM memperoleh sertifikat FSC (Fitria, 2012).
Langkah ini
merupakan inisiatif pertama di Indonesia di mana sebuah perusahaan
menggabungkan aktivitas konservasi dengan rencana manajemen menuju integrasi
konservasi dan produksi. Aktivitas konservasi mencakup perlindungan jenis pohon
sumber makanan orang utan dan sarangnya, memastikan area berpopulasi orangutan
tinggi bebas dari aktivitas penebangan, serta menjalin kolaborasi dengan SJM
untuk mengatasi perburuan di dalam area konsesi. Ratusan sarang orang utan,
baik lama maupun baru, ditemukan di dalam area konsesi selama penelitian
berlangsung. Bahkan, tim peneliti juga beruntung bertemu sekawanan orang utan
wilayah itu. GFTN Indonesia dan tim peneliti optimis akan hasil eksplorasi
tersebut. Dengan memahami kondisi orang utan dan habitatnya, upaya perlindungan
satwa kharismatik Kalimantan tersebut akan lebih mudah dilakukan. Hal tersebut
juga mendukung manajemen hutan berkelanjutan tanpa mengganggu aktivitas bisnis
PT SJM sehingga mampu mewujudkan harmoni di antara perusahaan dan orangutan.
Suksesnya proyek percontohan ini akan semakin mendorong upaya konservasi di
luar wilayah konservasi serta menjadi fenomena menarik terkini bahwa sebagian
besar populasi orang utan justru berada di luar wilayah konservasi (Fitria,
2012).
12.
Program Donasi
“Sahabat Orangutan” oleh WWF-Indonesia
The World Wide
Fund for Nature Indonesia (WWF-Indonesia) berkomitmen menjaga kelestarian satwa liar
Orangutan yang kini terancam punah lewat program donasi “Sahabat Orangutan”.
Program ini bertujuan mengumpulkan dana dari publik guna pelaksanaan
program-program WWF dalam menyelamatkan Orangutan di dua habitat utama, Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan. Melalui Program Sahabat Orangutan, WWF-Indonesia
membuka pintu bagi semua individu yang ingin mendukung upaya pelestarian
Orangutan secara tidak langsung dengan berdonasi rutin. Dengan dana “Sahabat
Orangutan”, WWF akan melakukan riset dan monitoring Orangutan, sosialisasi
kepada masyarakat tentang pentingnya keberadaan orangutan sebagai pemelihara
hutan. Selain itu, mereka juga akan bekerja sama dengan pemerintah lokal,
masyarakat dan pihak swasta, mengembangkan ekowisata orangutan berbasis
penelitian bersama masyarakat lokal, mendukung penegakan hukum untuk menyelamatkan
oranguan beserta habitatnya serta membangun stasiun riset orangutan di Embaloh,
Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat (Dagur, 2012).
DAFTAR RUJUKAN
Dagur, Ryan. 2012.
Menjaga orangutan Lewat Program “Sahabat Orangutan”. (Online), (http://indonesia.ucanews.com/2012/05/10/menjaga-orangutan-lewat-program-%E2%80%9Dsahabat-orangutan%E2%80%9D/),
diakses pada 11 September 2014.
Elizabeth. 2012.
Perancangan Komunikasi Visual melalui Iklan Televisi untuk Mendukung Kampanye
“Helping Hand for Orangutan”. Thesis. Jakarta: Binus University
Fitria, Desy
Lailatul. 2012. Geografi Lingkungan dan Sumberdaya “Upaya Pelestarian
Orangutan”. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat
Irfan, M., Hamongpranoto, S., dan Djatmika,
P. Tanpa tahun. Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Pembunuhan Satwa Orang Utan Yang Dilindungi Menurut Undang-Undang
No. 5 Tahun 1990 Di Wilayah Ijin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit ( Studi Kasus Di
Wilayah Hukum Kabupaten Kutai Kartanegara). Malang: Universitas Brawijaya.
Makinuddin, N., Buchori, D., dan Rizal, A.
2013. Pohon Terahir Untuk Orangutan
(Catatan Reflektif Dialektika Konservasi dan Pembangunan). Jakarta: The
Nature Conservancy.
Onrizal. 2009. Diambang Kepunahan: Sejuta Asa Menyelamatkan Kekayaan Dunia di Sumatera
Utara. Ekspedisi Geografi Indonesia.
Panggabean, Nurul Huda. 2011. Konservasi Orangutan (Pongo abelii).
(Online),
(http://nurulbiologi.blogspot.com/2011/11/konservasi-orangutan-pongo-abelii.html),
diakses pada 11 September 2014.
Redaksi Agrina.
2006. Selamatkan Oraangutan. Jakarta: Tabloid Agribisnis Dwimingguan
“Agrina”, Inspirasi Agribisnis Indonesia
Soehartono, T., Susilo, H.D., Andayani, N.,
Atmoko, S.S.U., Sihite, J., Saleh, C., dan Sutrisno, A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Orangutan Indonesia 2007-2017. Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik
Indonesia.
Supriatna, J.
2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Borneo Orangutan Survival (BOS). 2013. Laporan Tahunan 2012. Yayasan
Penyelamatan Orangutan Borneo.
Syiam, Dewi
Rachmanita. 2009. Orangutan. (Online),
(http://deuirara.blogspot.com/2009/11/makalah-orang-utan.html), diakses pada 11
September 2014.
Wich, S., Riswan, Jenson, J., Refisch, J.,
Nellemann, C. 2011. Orangutan dan
Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari di Sumatera. UNEP/GRASP/PanEco/YEL/ICRAF/GRID-Arendal.
0 komentar :
Posting Komentar
jangan lupa comment ya teman-teman.. :D